Suatu hari ada seorang bapak yang datang melaundry pakaiannya di laundry milik saya. Beliau orang baru. Hati ingin bertanya dan pengen ajak ngobrol, tapi tidak semua pelanggan laundry senang di ajak ngobrol. namun tanpa disadari, justru si Bapak lah yang memulai percakapan. Si Bapak memperkenalkan diri kalau beliau orang baru dan ngekos di sana sambil menunjuk sebuah rumah kos yang tak jauh dari tempatku.
Si Bapak kemudian bercerita kalau dia dari provinsi tetangga datang ke Padang untuk menemani anaknya yang lagi skripsi mau seminar. O ya? jawab saya. si Bapak lanjut bercerita kalau teman-teman anaknya sudah pada tamat dan sudah balik ke kampung halaman. Namun anaknya masih belum selesai juga skripsinya. Saya dampingi dia karena skripsinya gak dikerjakannya, siapa tau saya bisa bantu. Apa alasannya belum tamat, katanya susah menemui dosen, padahal dosennya cukup baik dan ramah. Hal itu sudah saya buktikan. Beberapa hari yang lalu, yang mencona untuk menemui dosen pembimbingnya. Beliau sangat kooperatif. Barangkali karena teman-teman sudah pada tamat, dia jadi mals- malasan karna tidak ada teman, makanya saya dampingi dia, demikian celoteh eh curhat si bapak.
Setelah mendengar cerita si Bapak saya jadi merenung, apa ya yang salah dengan perlakuan si bapak tadi terhadap anaknya. 'Anak'yang sudah bukan anak-anak lagi, bahkan sudah kuliah yang notabene usianya sudah dewasa, sekali lagi usianya yang sudah dewasa tapi bagaimana dengan kejiwaannya? Apakah sudah sesuai dengan usianya? Barangkali si anak tidak mau di temani si Bapak, namun si Bapak menganggap anaknya belum bisa berfikir dewasa dengan tidak memprioritaskan tanggung jawabnya dalam penyelesaian studinya.
Kedewasaan seseorang salah satunya dapat dilihat dari kemampuannya dalam memikul suatu tanggung jawab. Mampu mengambil keputusan yang baik untuk diri sendiri dan orang lain. Kemandirian dalam mengatur apa yang mesti dilakukan dan menyelesaikannya. Kalau dalam Islam istilahnya, Baligh dan berakal mesti sejalan, namun pada kenyataanya tidaklah demikian. Usia baligh semakin kecil, dalam artian masih 9 atau 10 tahun sudah baligh, sedangkan usia dewasa/berakalnya anak semakin besar.
Kesenjangan antara baligh dan berakal menjadi PR bagi kita sebagai orang tua. Bagaimana agar akil dan balighnya sejalan. Untuk bisa demikian tidaklah ujug-ujug. Ini merupakan proses yang panjang di usia 7 tahun pertama kehidupan anak. Usia ini merupakan usia emas yang menentukan seperti apa kelak dewasanya.
Semoga saya sebagai orang tua bisa mengantarkan anak--anak saya menuju peran peradabannya sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Cerita si Bapak ini jadi pengingat bagi diri saya sendiri untuk lebih mempersiapkan anak mandiri, bertanggung jawab dan bisa mengambil keputusan sendiri untuk kehidupannya sesuai dengan usianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar